GENEALOGI
KAMMI SEBAGAI PERJUANGAN
PEMBAHARUAN
GERAKAN ISLAM INDONESIA[1]
Oleh
: Inggar Saputra[2]
Orang boleh pandai setinggi langit
tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat dan dari sejarah.
Karena engkau menulis, suaramu tak padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh
di kemudian hari
(Pramoedya
Ananta Toer)
Tiga
Akar Gerakan KAMMI
Mencermati proses kelahiran gerakan KAMMI sesungguhnya
tidak dapat dilepaskan dari tiga akar kata gerakan yakni tarbiyah, reformasi
dan simbolitas gerakan. Hal ini tidak dapat dipungkiri, sebab KAMMI berada
dalam pusaran gerakan intelektual yang rodanya digerakkan kelompok tarbiyah
yang bermukim di masjid kampus. Mereka (aktivis dakwah kampus-red) yang
bernaung dalam perwajahan Lembaga Dakwah Kampus adalah stok sumber daya manusia
(SDM) yang menopang perjalanan dakwah KAMMI. Apalagi jika menelusuri sejarah
KAMMI, ada dua peristiwa strategis yakni kelahiran KAMMI adalah eksekusi
politik 60 Lembaga Dakwah Kampus dan proses karantina politik yang meledakkan
KAMMI adalah akumulasi percaturan operasi senyap ADK. Dalam pengertian pertama,
Sekretaris Umum pertama KAMMI Haryo Setyoko mengatakan “KAMMI
beranggotakan individu yang punya basis
kultur religius yang selama 20 tahun aktivitasnya di LDK terus terjadi penguatan
visi keagamaan dan politik”[3]
Sedangkan pengertian kedua, kelahiran KAMMI adalah pertemuan dua variable yakni
kampus sebagai ruang ”suci”, basis religius spiritual dan kampus sebagai
pencetak tenaga intelektualitas[4]
Akar tarbiyah semakin tampak dalam jenjang pengkaderan
KAMMI, dimana sistem madrasah KAMMI baik berbentuk klasikal dan khos adalah
perwujudan sistem berbasis komunitas berjenjang dengan anggota terdiri dari
10-12 orang. Meski begitu, sulit menilai KAMMI banyak dipengaruhi identitas
gerakan pembaharuan Islam Ikhwanul Muslimin saja. Ini disebabkan, sistem
intelektual yang melingkupi mahasiswa cenderung liar, radikal dan bernafaskan
rasa keingintahuan yang tinggi. Mahasiswa, dalam pemikirannya cenderung tidak
puas terjebak dalam satu sistem yang bersifat linear tanpa menghasilkan suatu
gagasan inovatif hasil pembacaannya terhadap perkembangan gagasan dari luar.
Untuk itu, meski beridentitas tarbiyah, sudah selayaknya seorang kader KAMMI
tidak terjebak satu pemahaman yang sentralistik. Gaya pembacaan terhadap
berbagai literatur seperti buku bercorak nasionalisme, sosialisme, komunisme
dan corak pandang liberalistik adalah sebuah kebutuhan sebagai pembanding dalam
percaturan olah pikiran.
Sedangkan jika merujuk reformasi, sejarah tidak pernah
berkata bohong bagaimana proses kejatuhan Soeharto yang dikenal sebagai
reformasi menyertakan nama KAMMI sebagai sebuah bagian besar pergerakan
mahasiswa. Meski ketika itu, banyak front mahasiswa dan gerakan yang lahir
seperti Famred, HMI (Dipo dan MPO), PMII, Forum Kota dan lainnya, KAMMI tetap
memegang peran penting. Dengan usianya yang baru seumur jagung, KAMMI terbukti
mampu meledakkan massa dalam jumlah besar untuk menopang bangunan reformasi
1998. Di kemudian hari, sejarah juga mencatat proses transisi kepemimpinan
kepada Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati dan kini, Susilo Bambang Yudhoyono
tidak melupakan KAMMI. Pembacaan yang lebih utuh terhadap reformasi adalah
kelahiran enam visi reformasi yang digagas aktivis KAMMI sebagai tawaran
gerakan pembaharuan Indonesia. Sedangkan dalam mengawal isu ke-Islaman, KAMMI
beberapa kali aktif terlibat dalam perjalanan panjang RUU Pornografi dan
Pornoaksi, RUU Badan Hukum Pendidikan dan pembatalan UU Migas belakangan ini.
Hal ini mengindikasikan, pembacaan reformasi harus terjadi dalam skala luas,
bukan dalam skala pembaharuan yang imparsial sehingga cenderung sekuleristik.
Kedua aspek di atas yakni tarbiyah dan reformasi harus
dilengkapi simbolitas gerakan. Ketiganya jelas sangat terpadu, penuh sinergitas
dan saling memiliki kecenderungan yang terkait. Proses tarbiyah pada masa awal
perjuangan KAMMI menggerakkan aktivis KAMMI berjalan pada rel gerakan oposisi
kebatilan (1998-2004), Proses ini membawa KAMMI dalam sentuhan gerakan
radikalisme. Penerjemahan radikalisme ini dapat dilihat dalam bentuk aksi turun
ke jalan dalam menyikapi setiap kebijakan pemerintah[5].
Pemerintah diposisikan“selalu salah” sehingga tidak mengherankan aktivis KAMMI
vis a vis dengan pemerintah dalam mengawal dan menilai kebijakan yang
digulirkan. Dalam beberapa aspek, peran oposisi kebatilan dimainkan dalam
demonstrasi lapangan yang cenderung berakhir rusuh dan penangkapan aktivis oleh
aparat keamanan.
Tetapi, mengutip kata Umar Bin Khattab, “Setiap zaman
memiliki seleranya”. Memasuki tahun kedua perjalanan gerakannya, KAMMI mulai
mengikuti irama kaum tarbiyah yang cenderung bersifat pragmatis dalam menilai
situasi yang berkembang. Gerakan KAMMI dibatasi nilai bertajuk intelektual
profetik (2004-2006), sehingga nuansa demonstrasi khas reformasi 1998 dianggap
sebagai sebuah nostalgia gerakan saja. Posisi intelektual profetik, secara
tidak langsung “menggelandang” KAMMI dalam pusaran politik semu. KAMMI mulai
terjebak deal politik dan terperangkap demonstrasi menunggu momentum. Alur gerakan banyak dituangkan dalam aspek
sosial, nilai akademik dan mengutamakan kepemimpinan kompromistik dalam suatu
momentum, seketika bersikap keras dalam momentum lain terhadap penguasa.
Reformasi yang semakin menjauh, ditambah polarisasi
gerakan tarbiyah yang merapat kekuasaan membuat KAMMI masuk dalam lubang
bertajuk “Muslim Negarawan” (2006-sekarang)[6]
Mengutip teori sejarawan Arnold Tonybee tentang keruntuhan sebuah peradaban,
KAMMI mulai bergerak kepada minoritas kreatif yakni sekelompok manusia muda
yang yang memiliki kemampuan untuk memilih apa yang hendak dilakukan secara
tepat dengan semangat yang kuat[7].
Minoritas kreatif akan digantikan minoritas despot yang tidak memiliki
kemampuan merumuskan tantangan zaman dan berorientasi kekuasaan sehingga
keruntuhan semakin dekat. Dalam kondisi ini, kecenderungan gerakan aksi
lapangan mulai tergantikan budaya santun intelektual seperti menulis, diskusi
dan penanaman nilai akademik. Gerakan berbentuk demonstrasi dikurangi, jikapun
ada maka berjalan sesuai momentum yang terjadi. Melalui proses muslim
negarawan, KAMMI memposisikan diri dengan logika gerakan mahasiswa yang setara
dengan pejabat pemerintahan dalam peran balancing
power (kekuatan penyeimbang). KAMMI dikembangkan sebagai gerakan yang bukan
lagi “menuntut” melainkan gerakan mahasiswa Islam yang dituntut memberikan
kontribusi dalam menyelesaikan persoalan bangsa dan negara[8]
Menyalakan
Api Ke-KAMMI-an
Dalam membahas proses gerakan mahasiswa, dapat dikatakan
tidak ada cerminan yang ideal. Kita dapat melihat, pola gerakan mahasiswa sejak
1966, semua bergerak pada kesatuan berbasiskan identitas dan afiliasi politik.
Mereka mengambil sikap atas nalar, sikap dan afiliasi pergerakan yang
mendukungnya. Himpunan Mahasiswa Islam, menegasikan sikap Masyumi sebagai
identitas dan afiliasi gerakannya. PMKRI dapat dianggap sebagai corong kelompok
muda Kristiani dalam membumikan ruang segar perjuangannya. Sedangkan GMNI
sebagai anak kandung Soekarno dalam bingkai marhaenisme dan CGMI yang
berafiliasi kepada perjuangan Partai Komunis Indonesia.
Meski begitu, dalam konteks kekinian penting menjaga mahasiswa
agar tidak terjebak politik praktis. Ini disebabkan sejatinya politik mahasiswa
adalah politik moral (etik-red). Gerakan mahasiswa khususnya KAMMI harus mampu
berangkat dari kesadaran dan tanggung jawab moralitas, dimana KAMMI tidak masuk
dalam wilayah politik kekuasaan, melainkan sebagai pendorong proses politik
menuju politik bermoral. Sebab sejatinya gerakan moral dapat berdampak politis,
karena tidak ada perubahan sosial yang terjadi tanpa kebijakan politik.
Untuk mendekatkan peran itu, mengutip Anis Matta, KAMMI
harus mampu merekonstruksikan tiga tangga kehidupan yakni afiliasi, partisipasi
dan kontribusi. Afiliasi dipahami sebagai bagaimana seorang kader KAMMI harus
menjadikan Islam sebagai identitas yang membentuk paradigm, mentalitas dan
karakternya. Dengan memiliki basis ideologis Islam yang mengakar, seorang kader
KAMMI akan menjadikan islam sebagai titik tolak pergerakan yang mewarnai dan
kebijakan gerakan KAMMI. Dalam memposisikan Islam sebagai sebuah ideology,
kader KAMMI harus meyakini Islam sebagai keyakinan agama (aqidah diniyyah), aturan sosial qanuun ijtima’iyyah), petunjuk spiritual (hidayah ruuhiyah) dan ikatan sosial politik (rabithah ijtima’iyah siyasiyah).
Kedua, partisipasi yakni seorang kader KAMMI harus mampu
melebur, menyerap aspirasi, memperjuangkan (mengadvokasi-red) dan
mendistribusikan pengaruh ke-Islamannya kepada masyarakat luas. Hal ini,
seperti dijelaskan dalam salah satu paradigm gerakan KAMMI yakni KAMMI adalah
gerakan sosial independen. Dalam pemaknaannya, gerakan sosial independen
memiliki tiga pengertian yakni Gerakan Sosial Independen adalah
gerakan kritis yang menyerang sistem peradaban materialistik dan menyerukan
peradaban manusia berbasis tauhid.Gerakan Sosial Independen merupakan gerakan
kultural yang berdasarkan kesadaran dan kesukarelaan yang berakar pada nurani
kerakyatan. Gerakan Sosial
Independen merupakan gerakan pembebasan yang tidak memiliki ketergantungan pada
hegemoni kekuasaan politik-ekonomi yang membatasi[9]
Ketiga,
kontribusi yakni setiap kader KAMMI harus memberikan pemikiran, tenaga dan
waktu untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas hidupnya dan masyarakat di
sekitarnya. Dalam persoalan kontribusi, seorang kader KAMMI sepantasnya tidak
menjadi beban bagi umat dan bangsanya. Justru sebaliknya, KAMMI secara
individual dan organisasi harus mampu melakukan intervensi sosial dengan
kreatif dan strategis sehingga menghasilkan upaya perbaikan yang optimal dan
solutif. Untuk berkontribusi, seorang kader KAMMI harus matang dalam akademik
dengan memiliki basis keprofesian yang kuat. Dengan basis akademiknya, kader
KAMMI akan mampu mengembangkan kontribusi riil kepada masyarakat dan
menjalankan fungsi pematangan pendidikan baik aspek sosial, ekonomi, budaya,
politik dan lainnya.
Tiga
Kompetensi Gerakan[10]
Ada
setidaknya tiga kompetensi gerakan mahasiswa. Pertama, gerakan mahasiswa berbasis riset. Ini dilandasi semakin
kompleksnya persoalan bangsa. Naiknya harga sembako, melambungnya BBM dan
krisis ekonomi membuat masyarakat dilanda putus asa. Di tengah kegelisahan itu,
mahasiswa mendapat tugas sejarah memberikan solusi terhadap problematika
masyarakat. Tantangan itu menjadi sebuah kesempatan mahasiswa untuk mulai
menggalang gerakan berbasiskan riset.
Aktivitas
riset sendiri dianggap sebagai sebuah upaya ilmiah mahasiswa mengkritisi dan
menghasilkan solusi efektif. Masyarakat menanti bagaimana protes mahasiswa
berjalan seimbang antara gerakan jalanan dan solusi konkret. Konteks ini mendorong
mahasiswa lebih memainkan peranan sebagai problem solver melalui berbagai
kajian komperehensif atas berbagai isu yang berkembang. Sehingga terciptalah
gagasan dan produk baru yang bermanfaat sebagai pertanggungjawaban kapasitas intelektual
organik mahasiswa.
Pemerintah
dan kampus sendiri terus mendorong budaya riset sebagai kultur akademik.
Berbagai dana hibah, proyek penelitian dan kompetisi ilmiah membanjiri dunia
kampus. Potensi ini harus dapat dimaksimalkan sebagai salah satu alternatif
memposisikan misi besar agent of change. Sehingga kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi dapat terus dikembangkan dan fungsi kampus menghasilkan manusia
intelektual berjalan sempurna.
Kedua, gerakan mahasiswa
berbasis wirausaha (entrepreneur). Berdasarkan data
BPS jumlah pengangguran di negeri ini mencapai delapan persen dari jumlah
angkatan kerja. Sementara Indonesia hanya mampu menghasilkan 0,18 persen
pengusaha. Masih jauh dari angka ideal jumlah pengusaha di negara berkembang
yang minimal sebesar dua persen.
Masih
tingginya pengangguran menandakan kemiskinan masih menjadi hantu menakutkan
bagi Indonesia. Ancaman kemiskinan menjadi persoalan bersama semua elemen
strategis bangsa Indonesia. Kondisi ini tentu mengancam kepemimpinan Indonesia
di masa mendatang. Untuk itu diperlukan peran mahasiswa untuk membantu terciptanya
kesejahteraan masyarakat.
Banyak
cara mengatasi persoalan ini, misalnya menyuburkan tradisi wirausaha.
Menggalakkan seminar, workshop, dan diskusi wirausaha dapat menjadi alternatif
gerakan perekonomian. Sehingga membantu percepatan mengatasi masalah ekonomi
dan kesenjangan sosial. Munculnya aktivitas mahasiswa berbasiskan wirausaha
berpotensi membantu mengurangi angka pengangguran kaum intelektual. Sehingga
pascakampus, tidak hanya dilahirkan mahasiswa pengangguran.
Ketiga, gerakan mahasiswa
berbasis sosial kerakyatan. Munculnya kemiskinan
berujung tumbuh berkembang masalah sosial lainnya. Akar kemiskinan menghasilkan
kebodohan, kriminalitas, busung lapar dan berbagai masalah sosial lain. Kondisi
ini diperparah gelombang bencana alam yang melanda Indonesia. Gempa bumi,
tsunami, banjir seolah menjadi akrab terdengar di telinga kita.
Situasi
ini sepantasnya membuat hati mahasiswa terketuk. Mereka dapat mengadakan
gerakan alternatif menggalang dana, membuat comdev (community development),
sekolah gratis, dan lembaga sosial atau zakat. Selain mengasah kepekaan sosial,
pembentukan lembaga itu juga membantu memutuskan sebuah lingkaran setan
terhadap berbagai kasus sosial yang marak berkembang.
Perubahan
zaman adalah sebuah keniscayaan dalam sebuah jalur kehidupan. Sekarang
pergantian periodesasi harus mampu ditangkap jika gerakan mahasiswa ingin
mempertahankan esksistensinya. Pilihan pada pelaku sejarah itu sendiri, apakah
mereka sadar konstelasi yang sudah berubah atau masih terlelap dalam tidur
panjangnya.
[1]
Ditulis sebagai bahan pengantar kajian KAMMI di Masjid Al Hikmah, Mampang,
Jum’at (01/03/2013)
[2]
Penulis adalah Kepala Departemen Humas PP KAMMI 2011 - 2013
[3]
Sudarsono, Amin, Ijtihad Membangun Basis
Gerakan¸ Muda Cendekia, Jakarta, 2010
[4]
Eep Saefullah Fatah dalam Majalah Hidayatullah, Edisi 01/Th. XI Muharram 1419 H
[5]
Syarifudin, “Reposisi dan Daya Hidup KAMMI, “ dalam Republika, Sabtu 4
September 2004
[7]
Sarjadi, Soegeng, Kepemimpinan dan Etika,
Soegeng Sarjadi School of Government, Jakarta, 2009
[8]
Imam, Rijalul, Menyiapkan Momentum, Muda
Cendekia, Jakarta, 2008
[9]
PP KAMMI, Garis – Garis Besar Haluan
Organisasi (GBHO) KAMMI, KAMMI Pusat, Jakarta, 2010
[10]
Inggar Saputra, “Mahasiswa dan Alternatif Gerakan Perubahan “ dalam
Kampus.okezone.com, Senin, 30 Mei 2011
0 Response to "PEMBAHARUAN GERAKAN ISLAM INDONESIA"
Post a Comment